Kamis, 26 Januari 2012

SISTEM POIN PENDIDIKAN, HARUSKAH?

Teringat kembali akan kenangan lawas sejarah bangsa Indonesia dalam bidang pendidikan. Kita sebagai masyarakat Indonesia bangga akan penerapan sistem pendidikan Indonesia yang dapat dijadikan contoh positif bagi negara-negara di kawasan Asia tenggara, seperti Malaysia, Singapura, Thailand, dan bahkan ditiru hingga negara maju sekalipun, seperti Korea Selatan dan China. Sayangnya kita sebagai generasi muda belum mampu untuk meneruskan cita-cita bangsa kala itu. Kita hanya mampu menjadikan semua kebanggaan itu menjadi sebuah kenangan usang yang justru ingin disingkirkan oleh generasi saat ini.
Sebenarnya hal apa yang membuat bangsa Indonesia kala itu maju dan disegani oleh bangsa-bangsa yang lainnya dalam bidang pendidikan? Sistem apa yang diterapkan Indonesia?
Menurut pengalaman sejarah, Indonesia memakai sistem pendidikan yang disiplin, tegas, dan keras. Di mana siswa harus dihukum atas kesalahan yang telah diperbuat. Hukuman tersebut berupa kekerasan secara fisik maupun mental, seperti penganiayaan dan sindiran tegas. Hal itu dinilai sangat baik oleh pihak sekolah maupun pemerintah kala itu. Karena dengan cara itulah Indonesia bisa maju. Sumber daya manusia yang telah dididik secara disiplin sejak kecilnya menjadikan mereka terbiasa menghadapi kerasnya kehidupan luar. Memang hasilnya luar biasa. Banyak yang dipakai ke luar negeri akan hasil kerja dan usahanya. Selain itu ada juga yang menjadi tonggak keberhasilan di negeri kita.
Dari informasi tersebut dapat kita bayangkan betapa dahsyatnya sistem pendidikan di Indonesia. Namun semakin berjalannya waktu, jaman orde lama berganti orde baru. Negara Indonesia mengalami perubahan yang drastis. Kita sebagai masyarakat semakin dimanjakan dengan sistem pemerintahan yang over demokratis. Oleh karena itu, berdampak besar bagi bangsa Indonesia. lambat laun sistem pendidikan Indonesia yang semula bersifat keras kedisiplinannya menjadi luntur.
Sekarang di era modern ini. Sistem pendidikan di Indonesia terlihat makin berbeda dengan makin banyaknya peraturan yang melarang kekerasan di sekolah. Telah terjadi banyak protes dari orang tua siswa yang menyatakan bahwa anaknya telah dipukul dan dianiaya. Hal itu membuat pemerintah Indonesia tegas memberikan undang-undang anti kekerasan. Peraturan pemerintah itu dalam penerapannya melarang pihak dari sekolah menganiaya peserta didiknya. Hal itu dinilai positif bagi sebagian masyarakat. Namun ada beberapa pihak sekolah yang tetap tidak setuju dengan peraturan itu, alasannya agar siswa tetap disiplin, dan supaya takut melakukan kesalahan. Namun pihak-pihak yang tidak setuju itu sudah tidak bisa mempertahankan prinsip kedisiplinannya. Karena memang sudah ada peraturan yang mengikatnya, dan dengan hukuman penjara hingga sekian tahun.
Jadi jika memang peraturan melarang kekerasan di sekolah, bagaimana siswa bisa disiplin. Hal ini terus menjadi pemikiran bagi seluruh sekolah di Indonesia. Ide pun muncul dari mana-mana. Hingga ada satu sistem pendidikan di sekolah untuk menuntut kedisiplinan siswa, tetapi tidak memakai kekerasan secara fisik. Sistem itu adalah sistem poin. Penerapan dari sistem ini adalah mendapat hukuman berupa poin jika siswa melanggar peraturan sekolah. Setiap batasan poin tertentu akan mendapatkan sanksi dari sekolah. Baik sanksi itu berupa tidak mengikuti pelajaran, hingga tugas menumpuk, lalu diskorsing, penyitaan , bahkan sampai siswa dikeluarkan dari sekolah.
Pemberlakuan sistem poin yang diterapkan sampai sekarang masih menimbulkan kontroversi. Di mana terdapat dua pihak yang pro maupun kontra. Di salah satu pihak mengatakan bahwa sistem poin sangat berpengaruh positif bagi siswa dan sekolahnya. Namun ada juga yang mengatakan bahwa sistem poin berdampak buruk bagi kehidupan siswa.
Latar yang membelakangi sekolah-sekolah di Indonesia memberlakukan sistem poin didukung dengan banyaknya alasan seperti yang ditulis dalam kutipan di bawah ini
Banyaknya pelanggaran yang terjadi dikalangan siswa membuat guru-guru sulit untuk mengatur siswa yang melanggar. Oleh karena itu, organisasi di salah satu Sekolah memberlakukan sistem poin terhadap siswa yang melanggar. Akibatnya siswa yang melanggar menjadi jerah dan tidak mengulanginya lagi.
          Ternyata, dengan diberlakukannya sistem poin ini, para guru menjadi sangat terbantu, karena  sebelum diberlakukannya sistem poin, guru-guru yang biasanya menangani masalah pelanggaran siswa kewalahan dalam mengatur siswanya. Namun, setelah pemberlakuan sistem poin sepertinya guru-guru menjadi mudah dalam memberikan sanksi terhadap siswa yang melanggar.
      Sekolah-Sekolah yang telah memberlakukan sistem poin ini akan menjadi Sekolahan yang memiliki siswa-siswi yang disiplin, rajin, berperilaku baik dan sopan, serta mematuhi semua peraturan. Selain itu, pemberlakuan sistem poin di Sekolah-Sekolah juga berjalan dengan lancar baik.
Ternyata, dengan diberlakukannya sistem poin berdampak positif bagi siswa-siswi dan Sekolah. Jadi, sekolah yang belum memberlakukan sistem poin terhadap pelanggaran tata tertib sekolah supaya segera memberlakukan sistem poin, agar menjadi Sekolah yang memiliki siswa-siswi yang rajin, disiplin dan berbudi pekerti.”
Dari kutipan tersebut jelas mengatakan bahwa sistem poin berdampak positif bagi siswa. Karena dengan pemberlakuan tersebut memotivasi siswa untuk selalu menghindar dari perbuatan negatif yang dilarang sekolah.
Namun ada juga yang berpendapat berbeda dengan yang menyatakan bahwa sistem poin membawa pengaruh negatif bagi perkembangan siswa. Salah seorang Komisioner KPAID Kepri menulis di media ini sebuah artikel yang berjudul “Mengukur Kenakalan Anak Sekolah.”
Inti tulisanya tidak lain memprotes bentuk hukuman yang diberikan oleh sekolah bagi peserta didik yang mendapat predikat "nakal". Sehinggga pada paragraf awal beliau berkesimpulan telah terjadi perubahan atmosfir dunia sekolah menjadi tempat yang menakutkan bagi anak yang melakukan kenakalan.
Jadi pantaskah kita menyalahkan ‘sistem point’ yang diterapkan sekolah dengan tujuan menumbuhkan rasa tanggungjawab siswa terhadap perilakunya? Terlalu mendramatisir kalau kemudian kita cepat berkesimpulan bahwa metode ini menjadi momok menakutkan bagi siswa; suatu bentuk ketidakadilan; ketidaksanggupan sekolah dalam membina peserta didik;  tendensiusnya sekolah dalam melihat prilaku anak; telah merenggut kesempatan anak untuk berubah; dan kesimpulan lainnya yang secara tidak langung ingin mengatakan metode ‘point’ ini salah dan ujungnya memberikan ultimatum kepada guru. Guru yang salah.
Jujur, saya termasuk pendidik yang kurang sepakat dengan sistem pendidikan dengan berjubel aturan. Termasuklah aturan terhadap siswanya. Alasannya hanya satu saja yaitu peraturan di satu sisi telah mengekangi sebuah proses kreatifitas. Akan tetapi kreatifitas yang perlu dikembangkan itu adalah yang bermakna positif, sehingga perlu pembiasaan. Untuk membiasakan itulah diperlukannya sebuah aturan. Tentu bukan aturan yang mengada-ada atau dadakan.”
Memang banyak alasan yang membuat sistem poin tidak disetujui. Jika sistem poin diterapkan, mungkin akan banyak menimbulkan dampak yang negatif. Misalnya mewajibkan siswa-siswi untuk memenuhi kelengkapan seragam, dan buku pelajaran. Bagaimana dengan siswa yang tidak mampu, tentu dia tidak bisa melengkapi itu semua. Namun tetap ia akan dikenakan sanksi poin karena telah melanggar aturan sekolah.
Hal ini menjadi tanda tanya bagi kita semua, haruskah sistem poin diberlakukan? Banyak pro maupun kontra. Namun ini menjadi pemikiran kita bersama untuk memutuskan mana yang harus kita pilih. Hal ini juga harus kita pikirkan bagi perkembangan pendidikan siswa itu sendiri. Apakah dampaknya bagi siswa di masa depan nantinya?

DANNI WAHYUDI MANTA – X8/8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar